Thursday, November 02, 2006

sebuah kisah yang lain..

Sendal Jepit Pak Ustadz..

Ketika masih di bangku kelas enam sekolah dasar, saya dan beberapa teman belajar mengaji di rumah seorang ustadz di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Seperti kebanyakan pengajian anak-anak di kampung pada saat itu, seorang ustadz sudah dianggap sebagai Ayah sendiri, isterinya pun sudah seperti ibu bagi anak-anak yang belajar, bahkan rumah ustadz yang dipakai untuk tempat belajar mengaji dianggap rumah sendiri sehingga sudah lazim setiap sebelum mulai pengajian ada anak-anak yang bergantian tugas membersihkan rumah.

Pernah suatu hari, saya tak mengerjakan kewajiban saya membersihkan lantai dan lebih memilih bermain di halaman depan seraya membiarkan anak lain yang membersihkan. Saat pengajian dimulai, pak Ustadz memanggil saya dan meminta saya berdiri di sudut ruangan sebagai hukumannya. Saya kesal, marah, dan merasa harus berbuat sesuatu untuk membalasnya. Akhirnya, sepulang mengaji saya sengaja menyembunyikan sandal jepit milik pak Ustadz.

Saya tahu, sandal itu yang selalu dipakainya saat mengantarkan anak-anak pulang sampai ke pintu gerbang. Sandal itu juga yang sering dipakainya pagi hari untuk jalan-jalan sekitar kampung. Hingga kini saya tak pernah lagi tahu apakah pak Ustadz merasa kelimpungan malam itu, atau paginya, mencari-cari sandal jepitnya. Karena ketika keesokan sorenya saya kembali untuk mengaji, sepasang sandal jepit baru terlihat di samping pintu rumah. Milik pak Ustadz, duga saya.

Hingga hari ini saya tak pernah bisa menghilangkan ingatan saya akan peristiwa hampir dua puluh tahun silam. Seperti halnya saya tak pernah bisa lupa akan wajah teduh dan sabar pak Ustadz mendidik puluhan anak yang sebagian besar justeru bertipikal seperti saya, susah diatur dan nakal. Namun yang terus menerus membuat saya lelah adalah betapa saya senantiasa dihantui rasa bersalah karena menyembunyikan sandal jepit pak Ustadz. Sungguh, sampai hari ini saya masih mampu dengan jelas mengingat warna dan bentuk sandal jepitnya dan dimana saya menyembunyikannya.

Itu cuma soal sandal jepit. Bagaimana dengan dosa dan kesalahan saya yang lain? Lelah, sungguh saya teramat lelah karena mata ini bagaikan sebuah rekaman yang terus menerus diputar ulang untuk mengingat-ingat semua kesalahan yang pernah saya lakukan. Kalau lah soal sandal jepit pak Ustadz saja sudah sedemikian membuat saya lelah karena terus menerus merasa dihantui perasaan bersalah dan juga ketakutan seandainya pak Ustadz tidak pernah ridha terhadap anak yang menyembunyikannya, bagaimana dengan ratusan, bahkan ribuan orang lain yang juga pernah bersinggungan dengan saya, pernah merasa sakit hati oleh lidah saya, pernah terhina oleh tatapan saya, pernah terpukul oleh sikap saya?

Tuhan, bantu hamba-Mu agar senantiasa kuat dan menjadikan semua rekaman peristiwa masa lalu itu sebagai pelajaran berharga. Agar diri yang lemah ini tak terus menerus berbuat salah, padahal mengingat yang sudah berlalu pun sungguh teramat melelahkan.

Semoga saja pak Ustadz ridha dan memaafkan saya, meski mungkin ia tak pernah tahu persis anak yang menyembunyikan sandal jepitnya.

Bayu Gawtama

Wednesday, October 11, 2006

sebuah kisah..



SANDAL JEPIT ISTRIKU

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh... betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan. "Ummi... Ummi, kapan kamu bisa memasak dengan benar...? Selalu saja, kalau tak keasinan...kemanisan, kalau tak keaseman... ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu."Sabar bi..., Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul...? " ucap isteriku kalem. "Iya... tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini...!" Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.
***
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan 'baiti jannati' di rumahku. Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw... berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci.
Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. "Ummi...ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini...?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi... isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah...?" Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah...wanita gampang sekali untuk menangis...," batinku berkata dalam hati. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat...? Isteri shalihat itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya. "Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis. "Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
***
Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi... abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku. "Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku. "Lho, kok bilang gitu...?" selaku. "Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi. "Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan. Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai.
Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. "Maafkan aku Maryam," pinta hatiku. "Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.
Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidahku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku.
Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya." Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! "Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. "Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.
***
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah, jazakallahu...,"ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan 'iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...?

sumber:
www.dudung.net